Minggu Keempat Januari: Karma, Novel, dan Sejentik Nilai IP

Karma does exist! Ini salah satu kata-kata yang sangat mengharukan dan menyebalkan at the same time. Mengharukan karena karma tidak pernah membahagiakan, setidaknya seumur hidup gue, dan menyebalkan juga karena statement barusan.

The reason why I said this is just because I felt karma said hi to me. Beberapa hari ini Jakarta, ibu kota Indonesia, ditangisi oleh langit. Hujan deras tanpa ampun dari langit membuat beberapa - atau hampir semua - bagian besar Jakarta terendam air minimal semata kaki. Dan beberapa hari ini gue sangat sangat menikmati hujan yang deras atau gerimis kecil sekalipun karena simply terasa menyenangkan dan menenangkan. Dan terjadilah karma. Malam dua/tiga hari yang lalu, pukul 23.00-ish, hujan deras membanjiri Jakarta. Gue lagi dengan asiknya bermain laptop dan handphone tanpa menyadari bahwa bekas kamar gue sudah menjadi danau dangkal semata kaki. "Kak! Bocor kak!" teriak adik gue, Tasya, yang baru saja memulai tidur pulasnya. Gue mendadak panik dan membuka kamar itu dan betul saja, kamar gue banjir. Tetesan air deras yang hampir menyerupai air mancur furnitur-furnitur kolam berenang mahal itu membanjiri bekas meja belajar gue. "Panggil Mama cepet!" kata gue bermaksud menyuruh Tasya.

Long story short, my family ended up fixing all my house's mess. Gue dan Tasya yang tidak bersalah apapun dalam peristiwa kebocoran ini secara tidak langsung ditugaskan orang tua untuk membereskan seluruh gudang pakaian di lantai 2 rumah kami. Pada pukul 23.40. Gue sedikit emosi dan kesal karena gue berpikir kenapa nggak besok pagi aja sih ngeberesin gudangnya? Kenapa harus sekarang? 

Anyway, selain karma, gue juga mau berbagi pikiran kepada pembaca (if I have one) tentang beberapa masalah membaca pada remaja seumuran gue. Contohnya, gue. Gue sangat sangat ingin menjadi kutu buku. Well, I found one or two of my friends being a very good novel reader and I am jealous of them, for real. Semenjak gue mendapatkan gelar 'Mahasiswa Sastra Inggris', penekanan pada kata 'sastra', gue harus banyak baca. Gue membeli buku Warm Bodies karya Isaac Marion beberapa bulan yang lalu sebelum gue pindah ke Jatinangor untuk dibaca karena filmnya yang sangat menarik. Sampai sekarang, gue belum selesai membaca bukunya. Itu memalukan. Tapi, gue dengan sukses membaca buku The Fault In Our Stars karya John Green dalam waktu kurang dari seminggu. Gue bermaksud membeli buku lagi beberapa minggu yang lalu. I've been eyeing Pride and Prejudice by Jane Austen and An Abundance Of Katherines by John Green (lagi) tapi gue nggak terlalu yakin. Karena buku Warm Bodies (Re: yang tertinggal di Jatinangor) itu belum selesai gue baca. Namun, tulang (Re: om dalam Bahasa Batak) gue bilang bahwa buku adalah referensi. Lebih lanjut lagi, beliau menyuruh gue mencari arti dari 'referensi' dari Kamus Besar Bahasa Indonesia dan hasilnya: Referensi adalah sumber acuan (rujukan, petunjuk). Penjelasan dari beliau, "Sebagai mahasiswa sastra, anggaplah buku itu menjadi acuan atau pendukung belajarmu. Sangat tidak apa-apa jika kamu belum selesai membaca sebuah buku dan ingin membeli buku lainnya karena itulah pendukungmu." Itu melekat di pikiran gue sekarang dan gue membeli Pride and Prejudice dan Hibiscus karya Agnes Arina.

Dan tak kalah menariknya, nilai IP sudah keluar! Nilai IP adalah salah satu topik hangat dibulan Januari karena disinilah kedok beberapa dosen revealed. Pendeknya, dosen yang dikira baik malah begitu, dan yang begitu malah baik, begitulah kira-kira. 

Thanks for reading, guys! See you soon, God bless <3 p="">

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minggu Ketiga Maret: Si Girly dan Si Ganteng

Minggu Kedua November: My Current Cure

Minggu Ketiga Mei: Mantan Pacar dan Pacar Barunya dan Semester Dua